Silsilatushsholihin.com




Perbekalan pasukan kian hari kian menipis, namun benteng kota damascus belum pula ditaklukan. Abu ‘Ubaidah, Sang Panglima segera mengirim surat kepada Khalifah Umar memberitahukan kabar genting ini. Khalifah Umar pun menitahkan Khalid bin Walid yang juga sedang bertempur di wilayah Iraq, untuk membawa pasukannya ke Damascus guna membantu Abu ‘Ubaidah.
Setelah melakukan perjalanan panjang nan menegangkan, antara hidup dan mati, akhirnya Khalid bin Walid sampai di depan benteng kota Damascus, membawa bala bantuan untuk menambah kekuatan Abu ‘Ubaidah.
Kisah menarik pun terjadi kala dua orang shahabat mulia saling bernostalgia melepas rindu. Saling tawadhu’, menghormati satu sama lain dan berpegang teguh dengan sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam–.
Kemarilah, pimpin kami sholat. Karena engkau adalah bala bantuan untuk kami, sehingga kau lebih layak jadi panglima,” kata Abu ‘Ubaidah menyambut kedatangan Khalid.
Tidak, bagaimana mungkin aku memimpin seseorang yang Nabi bersabda tentangnya, ‘Sungguh setiap Nabi memiliki orang kepercayaan. Dan Abu ‘Ubaidah-lah kepercayaan ummat ini,” jawab Khalid.
Subhanallah! Budi pekerti dan suri tauladan baik untuk kita semua.
Tanpa mengurangi rasa cinta kita kepada Khalid bin Walid, sementara kita ingin menyelami lebih dalam kehidupan Abu’Ubaidah bin Jarrah. Nama lengkap beliau adalah ‘Amir bin ‘Abdillah bin al-Jarrah. Nasab beliau bertemu dengan Nabi pada Fiher bin Malik.
Imam adz-Dzahabi dalam “Siyar A’laamin Nubala” tidak menyebutkan secara pasti pada tahun berapa beliau dilahirkan. Apapun itu, yang jelas beliau termasuk dalam kafilah “As Sabiqunal Awwalun”, sebuah gelar untuk mengenang jasa mereka yang pertama-tama masuk Islam.
Seorang Tabi’in bernama Malik bin Yakhamir menyifatkan kepada kita perawakan beliau, “Beliau kurus, tinggi, mudah mengeluarkan keringat di wajah, janggut tak terlalu lebat dan disemir serta gigi seri beliau tanggal.”
Tanggal? Jangan ditertawakan, Akhi. Biarpun tanggal, namun bentuk mulut beliau sangatlah indah. Maha Suci Allah yang mampu menakdirkan segala sesuatu. Pun tanggalnya gigi seri beliau demi membela Rasulullah.
Pada perang Uhud, akibat serangan kaum musyrikin, ada serpihan baju besi yang menancap di pipi Rasul. Demi melihatnya, Abu ‘Ubaidah mencabut serpihan tersebut dengan gigi beliau. Tanggallah gigi serinya. Walaupun begitu, mulut beliau menjadi indah. Hingga ada yang mengatakan, tak ada yang seindah mulut Abu ‘Ubaidah. Subhanallah. Memang semuanya di bawah kekuasaan Allah.
Setahun sebelumnya, pada ghazwa Badr, Abu ‘Ubaidah juga punya kisah menarik. Selain beliau harus berjihad dengan pedang, beliau juga harus berjihad mengendapkan rasa cintanya kepada Ayahanda. Bagaimana tidak? Ayahanda beliau ikut dalam barisan kaum kuffar. Pertemuan ayah-anak dalam duel pertarungan pun tak terelakkan. Biar pahit dirasa, namun demi dien Allah tegak di muka bumi, Abu ‘Ubaidah berdiri tegak menghadapi Ayahnya. Beliau juga harus tega membunuh Ayahanda walau dengan tangan sendiri. Dan benar, Abu Ubaidah membunuhnya.
Allahu Akbar!! Saat cinta harus memilih, Abu ‘Ubaidah memilih Allah. Inilah iman, Akhi. Belumkah antum mendengar sabda Rasul dari shahabat Anas, “Ada tiga sifat, jika seseorang berperangai dengannya, niscaya akan merasakan manisnya iman –salah satunya–; Siapa yang mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi siapapun.” [muttafaqun ‘alaihi]
Rasulullah pada banyak kesempatan sering memuji Abu ‘Ubaidah, sebagaimana ucapan Kholid pada mukadimah di atas. Memang, sebagian ahli hadits mengkritisi keabsahan riwayat tersebut, karena datang dari jalur Yahya bin Abi Zakaria. Dia perawi yang dha’if (lemah periwayatannya). Namun pujian dari Rasulullah yang disebutkan Khalid, datang juga dari sahabat Anas dan Hudzaifah dalam Shohehaen. Jadi, memang beliaulah kepercayaan umat ini, umat Islam. Gelar yang indah!
Begitulah, sahabat. Mengingat Abu ‘Ubaidah membuat kita kecil, kerdil, bagai kerikil. Malu. Entah mau dikemanakan diri ini. Walaupun begitu, setidaknya kita mau meneladi dan menjadikan beliau sebagai idola kita. Daripada mengidolakan **ist**** R*****o, ***nel *ess*, *ust** bie*** [afwan, malas nulis nama mereka] dan orang tidak jelas lainnya, tentu Abu Ubaidah jauh..jauh lebih pantas diidolakan oleh setiap muslim. Kok lebih pantas, bahkan harus. Dan tak bisa dibandingkan. Bukankah pedang akan berkurang nilai jualnya, jika ketajamannya dibandingkan dengan tongkat. Iya kan, Akhi?
Mengakhiri tulisan ini, ada sebuah faedah dari Imam adz-Dzahabi. Dalam Shoheh Muslim, hadits dari Abu ‘Ubaidah hanya ada satu. Begitu pula dalam Sunan Tirmidzi. Adapun dalam musnad Imam Ahmad yang berjilid-jilid tebalnya, hadits dari Abu ‘Ubaidah cuma berjumlah dua belas hadits.
Wallahu a’lam bish showab.
Sumber inspirasi: Siyar A’lamin Nubala’
Daarul Hadits, Fuyush
Abu Thalha Yahya Alwindani
Sumber : WA Salafy Lintas Negara

Sumber: www.darussalaf.or.id/biografi/abu-ubaidah-bin-jarrah-kepercayaan-umat-islam/
Disunting tanpa mengurangi maknanya.
Gambar dari publisher telegraph.

Radio Islam