Silsilatushsholihin.com




Salah satu bentuk interaksi antar manusia yang paling sering dijumpai adalah jual beli. Oleh karena itulah, Islam mengatur ini semua agar terwujud tatanan kehidupan yang sarat dengan keadilan.
Termasuk rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada segenap umat manusia adalah dihalalkannya jual-beli di kalangan mereka dalam rangka melestarikan komunitas Bani Adam hingga hari penghabisan. Serta melanggengkan hubungan antar mereka sebagai makhluk yang membutuhkan orang lain. Lalu bagaimanakah jual-beli yang sesuai petunjuk Nabi itu?
Secara global, kajian berikut akan mengupas pokok-pokok kaidah dalam masalah ini disertai beberapa rincian seperlunya. Wallahul muwaffiq lish-shawab.
Definisi Jual Beli
Secara bahasa adalah pertukaran harta dengan harta.
Secara syariat, makna (bai’) telah disebutkan beberapa definisinya oleh para fuqaha (ahli fiqh). Definisi terbaik adalah: Pertukaran/pemilikan harta dengan harta berdasarkan saling ridha melalui cara yang syar’i. (Syarah Buyu’, hal. 1)
Hukum Jual Beli
Hukum asal jual-beli adalah halal dan boleh, hingga ada dalil yang menjelaskan keharamannya. Dalil kebolehannya adalah Al-Qur`an, hadits, dan ijma’ ulama.
Dalil dari Al-Qur`an di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba…” (Al-Baqarah: 275)
Adapun hadits, di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam:
Sesungguhnya jual-beli itu dengan sama-sama ridha.” (HR. Ibnu Majah no. 2185, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu,, dari jalan Abdul ‘Aziz bin Muhammad, dari Dawud bin Shalih Al-Madani, dari ayahnya, dari Abu Sa’id. Sanadnya shahih, lihat Al-Irwa` 1283)
Para ulama di sepanjang masa dan di belahan dunia manapun telah sepakat tentang bolehnya jual beli. Bahkan ini merupakan kesepakatan segenap umat, sebagaimana dinukil oleh Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah.
Syarat-syarat Jual Beli
Jual-beli dianggap sah secara syar’i bila memenuhi beberapa persyaratan berikut:
  1. Keridhaan kedua belah pihak (penjual dan pembeli).
  2. Yang melakukan akad jual-beli adalah orang yang memang diperkenankan menangani urusan ini.
  3. Barang yang diper-jual-beli-kan harus halal dan ada unsur kemanfaatan yang mubah.
  4. Barang yang diper-jual-beli-kan dapat diserah-terimakan.
  5. Akad jual-beli dilakukan oleh pemilik barang atau yang menggantikan kedudukannya (yang diberi kuasa).
  6. Barang yang diper-jual-beli-kan ma’lum (diketahui) dzatnya, baik dengan cara dilihat atau dengan sifat dan kriteria (spesifikasi)-nya.
Masing-masing syarat di atas mengandung sekian banyak permasalahan yang terkaitan dengan jual beli. Jika dirinci, akan diketahui mana mekanisme yang diperbolehkan dan mana yang terlarang secara syar’i. Bila telah tuntas uraiannya, yang tersisa hanya beberapa bab saja dalam masalah jual beli, seperti bab Khiyarat dan Riba.
Karena keterbatasan lembar majalah ini, maka akan kami uraikan seperlunya dan kami sebutkan masalah-masalah yang masyhur saja, bi idznillahi ta’ala (dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala).
SYARAT PERTAMA Keridhaan Kedua Belah Pihak
Dalil persyaratan ini disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling ridha di antara kalian.” (An-Nisa`: 29)
Juga dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam:
Sesungguhnya jual-beli itu dengan keridhaan.”
Akal yang sehatpun menerima persyaratan ini. Karena jika tidak ada persyaratan ini, maka masing-masing orang akan saling mendzalimi dan bertindak melampaui batas terhadap orang lain.
Masalah 1: Jual beli orang yang dipaksa
Jumhur ulama berpendapat bahwa jual-beli orang yang dipaksa hukumnya tidak sah. Mereka berhujjah dengan ayat dan hadits di atas, juga dengan hadits berikut:
Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku tindakan kesalahan, kealpaan, dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah 2045 dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubra 7/356-357 dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma dengan sanad hasan karena banyak penguatnya. Lihat Nashbur Rayah, 4/64-66, dan Al-Maqashidul Hasanah hal. 369-371, no. 528)
Termasuk faedah dalam bab ini adalah jual-beli seseorang karena malu, sebab tidak terwujud persyaratan keridhaan padanya.
Masalah 2: Jual beli orang yang bergurau
Misalnya, ada orang bergurau dengan orang lain, dia berkata: “Saya jual mobilku kepadamu dengan harga Rp. 500 ribu.” Jual-beli seperti ini tidak sah, karena tidak ada niatan jual-beli dan juga tidak ada keridhaan dari sang penjual.
Kita bisa mengetahui sang penjual sedang bergurau dengan qarinah (tanda/bukti-bukti). Bila tidak ada tanda-tanda gurauan, maka jual belinya sah. Sang penjual harus bisa mendatangkan bukti-bukti yang kuat bahwa dia tengah bergurau.
Masalah 3: Jual beli dengan orang yang tengah membutuhkan (uang)
Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang masalah ini:
  1. Jumhur ulama berpendapat, jual-beli seperti ini sah namun makruh. Sebab, umumnya orang yang sedang butuh akan menjual barangnya dengan harga murah.
  2. Al-Imam Ahmad, dikuatkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani, berpendapat, haram hukumnya jual-beli dengan orang yang sedang butuh. Beliau berhujjah dengan hadits: “Rasulullah melarang jual-beli orang yang sedang butuh.”
  3. Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyyah) berpendapat, jual belinya sah tanpa ada hukum makruh. Sebab, jika dilarang membeli barang orang yang tengah membutuhkan tadi, justru akan menambah mudharat (kesusahan) bagi yang bersangkutan.
Yang rajih (pendapat yang kuat), Insya Allah, adalah pendapat Ibnu Taimiyyah. Karena, hadits yang dijadikan hujjah untuk melarang sanadnya dha’if. Hadits itu diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, Abu Dawud dan Al-Baihaqi, dari jalan seorang syaikh dari Bani Tamim, dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu.
Sanad ini di-dha’if-kan karena tidak diketahui siapa syaikh di atas. Meski ada penguat lain dari sahabat Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu 'anhu, yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, namun dalam sanadnya ada perawi yang bernama Kautsar bin Hakim, di mana dia matruk (ditinggalkan hadits–nya). Sanadnya juga terputus antara Makhul dan Hudzaifah. Wallahu a’lam.

Ijab-Qabul dalam Jual-Beli

Termasuk dalam persyaratan pertama ini adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan ijab qabul. Ijab adalah ucapan penjual: “Saya-jual”, sedangkan qabul adalah ucapan pembeli: “Saya terima.”
Masalah 4: Apakah disyaratkan lafadz-lafadz tertentu dalam jual beli?
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:
  1. Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan satu pendapat dalam madzhab Ahmad: Tidak sah jual-beli kecuali dengan lafadz ijab dan qabul. Mereka beralasan bahwa ridha adalah perkara batin, dan kita tidak mungkin tahu adanya keridhaan dengan semata-mata perbuatan tanpa lafadz. Diamnya sang penjual terkadang karena kelalaiannya, dianggap akadnya main-main, atau diam untuk melihat sejauh mana sang pembeli mematok harganya.
  2. Yang mendekati pendapat ini adalah pendapat Ibnu Hazm: Tidak sah kecuali dengan lafadz “Saya jual” atau “Saya beli”.
  3. Pendapat Abu Hanifah, satu pendapat dalam madzhab Ahmad, dan satu sisi pendapat Syafi’iyah: Jual belinya tetap sah dengan tindakan tanpa lafadz tertentu dalam perkara-perkara yang sering terjadi padanya jual beli, dengan ketentuan barangnya remeh, tidak besar, atau mahal. Menurut mereka, jual-beli barang yang besar atau mahal tidak sah kecuali dengan lafadz ijab dan qabul.
  4. Pendapat Malik, Ahmad, sejumlah ahli tahqiq dari kalangan Syafi’iyah, seperti Ar-Ruyani. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ash-Shan’ani, dan Asy-Syaukani Rahimahumullah: Jual-beli sah dengan apa saja yang dianggap oleh masyarakat sebagai jual beli, baik dengan lafadz atau dengan perbuatan.
Pendapat inilah yang rajih, sebab masalah ini tidak ditentukan batasannya secara syar’i atau bahasa Arab. Sehingga dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat setempat. Kaidah umum menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak ditentukan batasannya secara syar’i atau bahasa, maka dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat.
Masalah 5: Bila masalah di atas telah dipahami, jual beli mu’athah yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqh adalah sah
Gambaran mu’athah adalah: Pembeli memberikan uang kepada penjual dan mengambil barang tanpa lafadz ijab qabul. Mu’athah ini bisa dari sang penjual. Misalnya, pembeli berkata: “Apakah kamu menjual barang ini kepadaku dengan harga sekian?” Lalu penjual memberikan barang-nya tanpa mengucapkan lafadz: “Saya terima.”
Mu’athah juga bisa dari sang pembeli. Misalnya, sang penjual berkata: “Maukah kamu membeli barang ini dengan harga sekian?” Lalu sang pembeli mengeluarkan uang dan mengambil barang tadi tanpa lafadz ijab qabul.
Masalah 6: Bila sang pembeli berkata kepada penjual dalam bentuk pertanyaan: “Apakah engkau menjual barangmu ini?” Lalu penjual mengatakan: “Saya terima.”
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa akad ini tidak sah, karena tidak diketahui keridhaan sang pembeli. Demikian yang dinukilkan Ibnu Qudamah dan yang lainnya.
Masalah 7: Jual beli dalam bentuk janji
Misalnya, sang penjual berkata: “Maukah engkau membeli barang ini dengan harga sekian?” Pembeli berkata: “Nanti akan saya beli.”
Janji seperti ini tidak dianggap sebagai akad jual beli, bagaimanapun bentuknya. Penjual tidak diharuskan menyimpan barang tadi (artinya dia boleh menjualnya kepada orang lain). Pembeli pun tidak diharuskan membeli barang tadi, walaupun telah menyerahkan DP (Down Payment-, persekot/uang muka). Wallahu a’lam.

Jual-beli Menggunakan Alat-alat Modern Masa Kini

Termasuk dalam bab ini adalah jual-beli dengan piranti masa kini.
Masalah 8: Jual beli lewat telepon
Al-Imam An-Nawawi pernah menyebutkan satu masalah: Jika ada dua orang yang saling berbicara dari tempat jauh, satu sama lain tidak saling melihat, yang terdengar hanyalah suaranya saja dan pembicaraannya adalah masalah akad jual beli, maka akadnya adalah sah.
Demikian pula lewat telepon. Dengan syarat, aman dari penipuan suara. Jika terjadi penipuan, maka dikembalikan kepada kaidah-kaidah umum jual beli.
Masalah 9: Jual beli lewat telegram, faksimili, atau Short Message Service (SMS)
Masalah ini masuk dalam permasalahan jual-beli lewat tulisan yang diperbincangkan para fuqaha.
  1. Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat tidak boleh. Karena adanya kemungkinan penipuan, kecuali bagi yang tidak mampu seperti orang bisu.
  2. Kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan pendapat sejumlah ahli tahqiq dari kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah, bahwa jual belinya tetap sah, bila kedua belah pihak saling mempercayai dan aman dari penipuan. Umumnya, alat-alat ini sendiri terpercaya di kalangan masyarakat.
Pendapat inilah yang rajih (kuat). Karena yang dimaksud dalam jual-beli adalah keridhaan. Dan keridhaan bisa dengan lafadz atau perbuatan, seperti tulisan. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk menulis hutang-piutang dan mendahulukan tulisan daripada gadai, dalam firman-Nya:
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (Al-Baqarah: 283)
Perhatian: Ini semua dengan satu syarat penting, yakni barang-barang yang dibeli tidak termasuk barang-barang yang disyaratkan harus diserah-terimakan di tempat. Pembahasan masalah ini, Insya’ Allah, dalam bab Riba.
Faedah: Saya (penulis) pernah bertanya kepada Syaikhuna (guru saya) Abu Abdillah Abdurrahman Mar’i Al-’Adani hafizhahullahu wa syafaahu sewaktu di Yaman, di Masjid Mazra’ah perumahan keluarga di Dammaj, tentang masalah jual-beli lewat internet (secara on line). Beliau menjawab (secara makna): “Tidak apa-apa, selama barang yang dibeli tersebut tidak termasuk barang yang harus diserah-terimakan di tempat.”
Wallahu a’lam.
SYARAT KEDUA
Orang yang melakukan akad adalah orang yang diperbolehkan menangani urusan tersebut, dalam hal ini adalah seorang yang berakal dan baligh. Dengan syarat ini, ada beberapa orang yang diperbincangkan para ulama tentang akad jual-beli mereka. Di antaranya adalah:
1. Orang Gila
Para ulama telah sepakat bahwa akad jual-beli orang gila tidaklah sah. Demikian pula orang yang sedang pingsan, dengan dasar hadits:
Pena (takdir) diangkat dari 3 orang….
Namun bila penyakit gilanya tidak menentu (kadang kambuh, kadang normal), maka di saat gila, tidak sah akad jual belinya. Dan di saat dia sadar, maka akadnya sah.
2. Orang yang sedang Mabuk
Ada dua keadaan:
a.  Mabuk secara menyeluruh (hilang ingatan)
ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama:
–  Jumhur ulama berpendapat, tidak sah jual belinya, karena hilang ingatan dan akalnya.
–  Kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah dan satu riwayat dari Ahmad berpendapat sah, sebagai hukuman atasnya. Mereka juga beralasan: Siapa yang tahu dia itu mabuk? Jangan-jangan dia hanya berpura-pura saja.
Yang rajih adalah pendapat jumhur, karena keadaan dia seperti orang gila, maka masuk pada hadits di atas.
b.  Mabuk tidak menyeluruh (tidak hilang ingatannya)
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama, bahwa jual belinya sah.
3. Anak Kecil
ada 2 keadaan:
a.  Belum mumayyiz (memahami dan membedakan)
Tidak ada perbedaan pendapat tentang ketidaksahan akad jual belinya.
b.  Telah mumayyiz
Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama:
1. Asy-Syafi’i dan Abu Tsaur berpendapat: Tidak sah jual belinya walaupun seizin walinya.
2. Jumhur ulama berpendapat: Bila dengan izin dari sang wali, maka sah.
Mereka mensyaratkan, anak kecil itu tidak tertipu dengan tingkat penipuan yang parah. Bila hal ini terjadi, maka sang wali punya hak untuk meminta kembali barang yang dijual dari sang pembeli. Pada kasus seperti ini tidak sah akad jual belinya.
Faedah: Al-Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih membolehkan anak kecil berjual-beli barang-barang yang remeh walaupun tanpa seizin wali. Adapun barang-barang yang mahal/besar, maka harus dengan izin wali. Wallahu a’lam bish-shawab.
SYARAT KETIGA Barang yang diper-jual-beli-kan harus halal dan ada unsur kemanfaatan yang mubah
Pada pembahasan syarat ini akan diuraikan benda/barang yang haram diper-jual-beli-kan untuk dihindari. Sedangkan perkara yang mubah, tidak mungkin dapat diuraikan karena banyaknya. Sebab hukum asal sesuatu adalah halal untuk diperjual-belikan, kecuali bila ada dalil yang meng-haramkannya.
Jual Beli Khamr
Khamr adalah segala sesuatu yang memabukkan, baik terbuat dari anggur, tomat atau bahan-bahan lainnya, apapun namanya, baik dulu maupun sekarang. Jual-beli khamr adalah haram menurut kesepa-katan para ulama, berdasarkan hadits:
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan jual-beli khamr dan bangkai.” (Muttafaqun ‘alaih dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu `Anhu)
Pendapat yang membolehkannya adalah batil dan nyleneh. Demikian pula pendapat Abu Hanifah yang membolehkan seorang muslim mewakilkan jual-beli khamrnya kepada kafir dzimmi. Semuanya batil dan bertentangan dengan hadits di atas.
Kejanggalan: Dalam Shahih Al-Bukhari diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu `Anhuma, beliau berkata: “Si fulan telah menjual khamr.” Maka ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu `Anhu berkata: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memerangi si Fulan.”
Disebutkan dalam Shahih Muslim dan lainnya bahwa si fulan tersebut adalah sahabat Samurah bin Jundub Radhiyallahu `Anhu. Bagaimana dengan perbuatan beliau ini?
Jawabannya: Para ulama menyebutkan beberapa udzur untuk sahabat tadi, diantaranya:
  1. Beliau mengambil khamr tadi dari upeti Ahli Kitab, lalu beliau jual lagi kepada mereka.
  2. Beliau tahu keharaman khamr, namun tidak tahu keharaman jual-beli khamr.
  3. Beliau menjual sari anggur kepada seseorang yang kemudian mengolahnya menjadi khamr.
  4. Beliau telah mengolahnya menjadi cuka, lalu menjual cuka tersebut.
Jual Beli Bangkai
Bangkai adalah semua hewan yang mati dengan sendirinya tanpa disembelih dengan cara yang syar’i.
Para ulama telah sepakat bahwa bangkai tidak boleh diper-jual-beli-kan, dengan dasar hadits yang telah lewat pada masalah khamr.
Termasuk dalam kategori bangkai adalah bagian-bagian tubuh hewan yang merupakan inti kehidupan seperti: daging, otak, lemak (gajih) serta tulang.
Masalah 10: Hukum menjual bulu hewan yang telah menjadi bangkai
Para ulama telah sepakat bahwa boleh menggunakan dan memper-jual-beli-kan bulu hewan yang masih hidup.
Adapun hewan yang telah menjadi bangkai, maka mereka berbeda pendapat:
1. Jumhur ulama berpendapat: Boleh diper-jual-beli-kan.
2. Asy-Syafi’i dan ‘Atha` berpendapat: Tidak boleh diper-jual-beli-kan.
Yang rajih adalah pendapat jumhur, dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
(Dia jadikan pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).” (An-Nahl: 80)
Ayat ini umum dan mencakup hewan yang masih hidup ataupun yang telah mati.
Juga dengan dasar hadits:
Sesungguhnya yang diharamkan adalah memakannya.”
Sehingga boleh dipergunakan kecuali daging, tulang, gajih (lemak), dan yang semisalnya.
Masalah 11: Bolehkah menjual kulit bangkai sebelum disamak?
Perlu diketahui bahwa kulit bangkai adalah najis. Adapun kulit hewan yang disembelih dengan cara yang syar’i, maka suci dan boleh dipergunakan tanpa disamak. Adapun tentang kulit bangkai yang belum disamak, para ulama berbeda pendapat:
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa itu termasuk dalam kategori bangkai. Mereka berhujjah dengan hadits:
Sesungguhnya Allah mengharamkan jual-beli beli khamr dan bangkai.
2.  Abu Hanifah, Az-Zuhri, Al-Laits dan yang dipilih oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya, berpendapat boleh diper-jual-beli-kan dengan dasar hadits:
Kenapa tidak kalian manfaatkan?” (HR. Abu Dawud, no. 4120-4121. Lihat Ash-Shahihah no. 2163 dari Maimunah)
Yang rajih adalah pendapat jumhur. Wallahu a’lam. Adapun hadits Maimunah di atas, pengertiannya dibawa kepada masalah kulit bangkai yang telah disamak.
Masalah 12: Kulit bangkai yang telah disamak
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:
1.  Jumhur ulama berpendapat boleh diper-jual-beli-kan.
2.  Ahmad dan Malik berpendapat tidak boleh diper-jual-beli-kan.
Yang rajih adalah pendapat jumhur dengan dasar hadits:
Bila kulit telah disamak, maka telah suci.” (HR. Muslim dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu `Anhuma)
Jual-beli Babi
Para ulama telah bersepakat bahwa babi haram diper-jual-beli-kan, dengan dasar hadits:
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharam-kan jual-beli beli khamr, bangkai, dan babi.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Jabir Radhiyallahu `Anhu)
Keharaman ini juga berlaku untuk kulit dan bulu babi, menurut pendapat yang rajih. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama.
Masalah 13: Apakah diperbolehkan beternak babi atau memeliharanya?
Hal ini tidak diperbolehkan menurut kesepakatan para ulama.
Jual-beli Patung
Yang dimaksud dengan patung di sini adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memiliki bentuk, baik terbuat dari besi, kayu ataupun batu, dan yang lainnya.
Jual-beli patung tidak diperbolehkan secara mutlak dengan dasar hadits:
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan jual-beli beli khamr, bangkai, babi, dan patung.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu `Anhu)
Masalah 14: Jual beli patung untuk dimanfaatkan serpihan-serpihannya
Bila telah dihancurkan maka diperbolehkan menjual atau membeli serpihan-serpihannya, sebab dia tidak lagi dalam bentuk patung. Adapun bila masih dalam wujud patung maka ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha:
1.  Jumhur ulama berpendapat tidak diperbolehkan.
2.  Sebagian ulama dari kalangan Syafi’iyah membolehkannya.
Yang rajih adalah pendapat jumhur, karena masuk pada keumuman larangan hadits di atas. Wallahu a’lam.
Masalah 15: Hukum jual beli mainan anak-anak (boneka)
Dalam hal ini ada rinciannya yaitu:
Apabila mainan tersebut mirip dengan insan yang hakiki, bisa bersuara dan bisa menangis, atau hal-hal lain yang menyerupai ciptaan Allah, maka tidak boleh diper-jual-beli-kan. Bila tidak terdapat hal-hal di atas, maka jumhur ulama memperboleh-kannya, dengan dasar hadits A’isyah (Muttafaqun ‘alaih), bahwasanya dia biasa bermain dengan boneka-boneka wanita, dan Rasulullah biasa memanggil teman-teman wanita ‘Aisyah untuk bermain dengannya.
Dalam riwayat Abu Dawud dan An-Nasa`i disebutkan bahwa Aisyah membuat mainan kuda yang memiliki dua sayap dari sobekan kain. Wallahu a’lam.
Jual Beli Anjing
Para ulama berbeda pendapat tentang jual-beli anjing:
  1. Jumhur berpendapat bahwa anjing tidak boleh diper-jual-beli-kan secara mutlak, baik anjing kecil (anak anjing) atau anjing besar, anjing untuk berburu ataupun tidak. Mereka berhujjah dengan hadits: “Nabi melarang dari harga anjing.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Mas’ud Al-Anshari Radhiyallahu `Anhu, HR. muslim dari Jabir Radhiyallahu `Anhu, HR. Al-Bukhari dari Abu Juhaifah Radhiyallahu `Anhu)
  2. Abu Hanifah berpendapat diper-bolehkan jual-beli anjing secara mutlak. Pendapat ini tidak berdasarkan dalil, bahkan bertolak belakang dengan hadits di atas.
  3. Jabir, ‘Atha`, dan Ibrahim An-Nakha’i berpendapat tidak diperbolehkan jual-beli anjing, kecuali anjing untuk berburu. Mereka berhujjah dengan lafadz tambahan pada hadits di atas dalam riwayat An-Nasa`i (7/309, no. 4669): “Kecuali anjing berburu.”
Yang rajih -wallahu a’lam- adalah pandapat jumhur, berdasarkan nash hadits di atas. Adapun lafadz tambahan pada hadits di atas yang menyebutkan pengecualian, derajatnya dha’if. Bahkan An-Nasa`i sendiri menyatakan mungkar. Di antara ulama ahli hadits yang mendha’ifkan adalah An-Nasa`i, At-Tirmidzi, Ad-Daraquthni. Bahkan An-Nawawi dalam syarah muslim dan Al-Majmu’ menyatakan: “Tambahan ini dha’if, dan ini adalah kesepakatan ahli hadits. Wallahu a’lam.”
Termasuk yang tidak diperbolehkan adalah menyewakan anjing. Karena sewa- menyewa termasuk bab jual-beli, sementara anjing merupakan hewan yang haram diper-jual-beli-kan, sama halnya dengan babi.
Masalah 16: Hukum jual beli hewan yang telah dimumi atau diawetkan
Tidak boleh memper-jual-beli-kan hewan yang telah dimumi, baik dalam bentuk burung ataupun yang lainnya, baik dari hewan yang halal dipelihara ataupun yang haram dipelihara. Alasannya adalah:
  1. Termasuk celah/pintu menuju kesyirikan.
  2. Penyebab tersebar luasnya gambar makhluk hidup.
  3. Menyia-nyiakan harta.
  4. Termasuk tindakan pemborosan (tabdzir/israf).
Demikian kesimpulan secara ringkas fatwa dari Al-Lajnah Ad-Da`imah (Komisi Fatwa Dewan Ulama Besar Kerajaan Saudi Arabia) yang diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baz, Wakil: Asy-Syaikh Abdur Razzaq Afifi, Ang-gota: Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan (11/715, no. fatwa 5350). Ini juga merupakan fatwa ‘Permata Yaman’ Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i Rahimahullah.
Jual Beli Kucing
Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama:
1.  Jumhur berpendapat, boleh mem-per-jual-beli-kan kucing
2.  Tidak diperbolehkan jual-beli kucing. Ini adalah pendapat Abu Hurairah, Mujahid, Thawus, Jabir bin Zaid, Azh-Zhahiriyah, satu riwayat dari Ahmad. Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Qayyim, Ibnu Rajab, dan dirajihkan oleh Ash-Shan’ani serta Asy-Syaukani Rahimahumullah.
Permasalahan ini sesungguhnya kembali kepada derajat hadits Jabir Radhiyallahu `Anhu, riwayat Muslim (no. 1569):
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam melarang dari harga anjing dan kucing.”
Para ulama berbeda pendapat tentang derajatnya.
Al-Imam Ahmad, Ibnu Abdil Barr, Al-Khaththabi, Ibnul Mundzir dan selain mereka berpendapat hadits ini dha’if. At-Tirmidzi menyatakan sanadnya mudhtharib (goncang). Adapula yang menyatakan mauquf, yakni ucapan Jabir Radhiyallahu `Anhu dan bukan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.
Sebagian ulama yang lain meyakini keshahihannya.
Jual Beli Darah
Para ulama berbeda pendapat, apakah yang dimaksud dengan larangan jual-beli darah? Apakah upah dari bekam (pengobatan untuk mengeluarkan darah kotor) ataukah jual-beli darah itu sendiri?
Yang rajih dari penjelasan para ulama adalah larangan jual-beli darah itu sendiri, dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Diharamkan atas kalian (memakan) bangkai dan darah…” (Al-Maidah: 3)
Adapun hadits yang melarang jual-beli darah, diriwayatkan dari sahabat Abu Juhaifah Radhiyallahu `Anhu, riwayat Al-Bukhari (no. 2238). Disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam:
Mengharamkan harga darah.”
Jual-beli darah hukumnya haram dengan kesepakatan para ulama, demikian dinukil Al-Hafizh.
Faedah: Dikecualikan dari hukum darah adalah hati dan jantung, dengan dasar hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu `Anhuma, riwayat Ahmad (2/97), Ibnu Majah (1037), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (1/254), yang dirajihkan oleh Abu Zur’ah dan Abu Hatim bahwa ucapan ini mauquf (ucapan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu `Anhuma) namun dihukumi marfu’ (sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam). Lihat Al-Maqashidul Hasanah (36) hal. 67.
Masalah 17: Memindahkan darah dari satu jasad ke jasad lain (donor darah)
Hal ini termasuk dalam keharaman di atas. Tidak diperbolehkan makan darah, baik langsung dengan mulut, lewat infus, atau dengan cara lainnya. Kecuali dalam keadaan darurat maka diperbolehkan, dengan syarat sang pendonor tidak menjual darahnya kepada pihak yang membutuhkan. Juga tidak mensyaratkan bayaran baik secara dzahir maupun batin.
Syarat secara dzahir sangat jelas. Adapun secara batin ialah kebiasaan masyarakat setempat. Misalnya setiap ada orang yang donor darah pasti diberi sejumlah uang, jika tidak dia pasti marah.
Ini adalah fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah no. 8096, yang diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baz, Wakil: Asy-Syaikh Abdur Razzaq Afifi, Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan.
Dalilnya adalah hadits di atas. Juga hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma:
Sesungguhnya jika Allah Subhanahu wa Ta’ala meng-haramkan atas suatu kaum memakan sesuatu, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengharamkan atas mereka harganya.” (HR. Ahmad, 3/370 dan Abu Dawud no. 3488. Dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 1/471)
Masalah 18: Jual beli misk
Misk adalah darah yang berkumpul pada pusar kijang setelah dia berlari kencang, lalu diikat beberapa saat hingga terlepas dari badan kijang tersebut. Dari inilah kemudian dibuat minyak wangi misk. Sehingga asal misk adalah darah.
Apakah misk itu suci atau boleh diper-jual-beli-kan?
Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama:
1.  Al-Hasan Al-Bashri dan ‘Atha` memakruhkan jual-beli misk.
2.  Jumhur ulama berpendapat boleh diper-jual-beli-kan dan suci.
Al-Hafizh dalam Al-Fath pada penjelasan hadits no. 2101 menjelaskan:
“Hadits ini menunjukkan bolehnya jual-beli misk dan hukumnya suci, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam memuji dan menyukainya. Di sini terdapat bantahan terhadap ulama yang memakruhkannya, sebagaimana dinukil dari Al-Hasan Al-Bashri, ‘Atha` dan yang lainnya. Kemudian perbedaan pendapat ini berakhir, dan tetaplah ijma’ (kesepakatan ulama) atas sucinya misk dan kebolehan memper-jual-beli-kannya.”
Jual-beli Perkara yang Diharamkan
Yang dimaksud dengan perkara yang diharamkan di sini meliputi 2 hal:
a.  Barang yang diharamkan untuk dimakan ataupun dimanfaatkan, seperti babi dan patung.
b.  Barang yang diharamkan untuk dimakan, namun bisa diambil manfaatnya.
Masalah 19: Bagaimana dengan perkara yang boleh dijual namun tidak boleh dimakan, seperti keledai peliharaan, bighal, dan budak?
Jawab: Bila dijual dengan tujuan untuk dimakan, maka hukumnya haram, masuk pada hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma di atas. Bila dijual untuk diambil manfaatnya, maka diperbolehkan. Wallahu a’lam.
Dalam bab ini terdapat masalah yang cukup banyak, di antaranya jual-beli pupuk yang terbuat dari kotoran.
Pupuk sendiri ada 2 jenis:
1.  Terbuat dari kotoran hewan, seperti kambing, sapi dan lain-lain.
Bagi ulama yang berpendapat bahwa kotoran hewan tidak najis, maka memperbolehkan jual-beli kotoran unta, sapi, kambing, dan lain sebagainya untuk pupuk tanah.
2.  Terbuat dari kotoran manusia, yang merupakan najis.
Pendapat yang rajih, Insya Allah, adalah diperbolehkan jual-beli kotoran manusia untuk pupuk. Ini adalah satu pendapat madzhab Maliki, Abu Hanifah, Ibnu Hazm, dan pendapat ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang berhujjah dengan keumuman ayat:
Dan Allah menghalalkan jual-beli.” (Al-Baqarah: 275)
Masalah 20: Jual beli alat-alat musik
Jumhur ulama menyatakan keharam-annya karena dalil-dalil yang tegas menunjukkan keharaman alat-alat musik. Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah mempunyai risalah khusus tentang masalah ini, lengkap dengan dalil dan bantahannya terhadap syubhat yang membolehkannya.
Di antara ulama yang tergelincir dan membolehkan jual-beli alat-alat musik adalah Ibnu Hazm dan Abu Turab Azh-Zhahiri, Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiri telah membantahnya dalam risalah khusus dengan bantahan tuntas dan memuaskan. Wabillahit Taufiq.
Faedah: Bila alat-alat musik telah dihancurkan atau dipecahkan, maka jumhur ulama berpendapat tidak boleh diperjual-belikan untuk diambil manfaatnya. Wallahu a’lam.
Bersambung..
Jual-Beli Sesuai Tuntunan Nabi (bag.2)

Sumber dihimpun dari: https://asysyariah.com/jual-beli-sesuai-tuntunan-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam-1/
Disunting dengan perubahan tanpa merubah maknanya.
Gambar dari publisher telegraph.

Radio Islam